16 Januari 2009

Bila Aku Jatuh Cinta




Allahu Rabbi aku minta izin
Bila suatu saat aku jatuh cinta
Jangan biarkan cinta untuk-Mu berkurang
Hingga membuat lalai akan adanya Engkau

Allahu Rabbi
Aku punya pinta
Bila suatu saat aku jatuh cinta
Penuhilah hatiku dengan bilangan cinta-Mu yang tak terbatas
Biar rasaku pada-Mu tetap utuh

Allahu Rabbi
Izinkanlah bila suatu saat aku jatuh cinta
Pilihkan untukku seseorang yang hatinya penuh dengan
kasih-Mu
dan membuatku semakin mengagumi-Mu

Allahu Rabbi
Bila suatu saat aku jatuh hati
Pertemukanlah kami
Berilah kami kesempatan untuk lebih mendekati cinta-Mu

Allahu Rabbi
Pintaku terakhir adalah seandainya kujatuh hati
Jangan pernah Kau palingkan wajah-Mu dariku
Anugerahkanlah aku cinta-Mu...
Cinta yang tak pernah pupus oleh waktu

Amin !


from: http://www.dudung.net/artikel-islami/bila-aku-jatuh-cinta.html

05 Januari 2009

Sebuah Persembahan Kecil Untuk Al-Quds

“Lari!!! Cepat Pergi!!!”

Teriakan itu masih terus terngiang di telingaku. Teriakan yang menyuruhku untuk melakukan hal ini. Ya, aku berlari dan terus berlari melewati lorong-lorong kota Gaza, kota di negeri yang suci ini. Ya, Gaza, Palestina.

Empat orang anak yang lainnya masih mengikutiku di belakang.
Masih terbayang dalam ingatanku...
Mereka semua....

Ah, air mata ini terus mengalir selagi aku berlari. Pedih terus mengiris dadaku. Tapi apa yang bisa aku lakukan?

Semua berawal beberapa menit yang lalu, saat semua masih tidur lelap dalam impian sebuah kemerdekaan. Aku yang masih terlelap di kasurku terbangun mendengar suara itu...

DUAR!!!

“Ummi!” teriakku.

Seketika terdengar langkah ummi dan abi berlari menuju ke kamarku.
“Tenang nak, kami disini, kita tidak sendiri, Allah bersama kita. Ayo cepat keluar” kata abi dengan air muka yang meneduhkan hati.

“Iya abi” jawabku.

Kami bertiga berlari keluar rumah, abi menggendongku, dan ummi menyelamatkan barang yang bisa diselamatkan. Diluar, telah banyak masyarakat kota yang berlarian kesana-kemari, anehnya aku tidak merasakan ada ketakutan di wajah mereka sama sekali. Bahkan, seorang anak seusiaku berlari keluar rumah dan meneriakkan takbir dengan ghirah yang tak ada habisnya.

“Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!Yahudi laknatullah alaih! Hadapi kami jika berani!” teriak anak itu.

Ya, benar. Serangan serdadu israel kembali mengggema di kota ini.

“Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!” sahutku setelah abi menurunkanku dari gendongannya yang hangat.
Dari kejauhan terlihat pasukan Israel mulai mendekat dengan senjata mereka yang lengkap. Sebuah pesawat F16 melintas diatas rumah kami. Dari sisi lain, muncul para tentara-tentara Allah dengan gagah berani mengumpulkan setiap warga kota. Hamas, itu sebutan mereka, tapi dunia lebih mengenal mereka dengan sebutan teroris.

Pedih aku mengingatnya, tapi ah.... ummi tetap menyuruhku berlari, maka aku akan tetap berlari.
Pasukan Hamas yang gagah terus mengamankan seluruh warga di Gaza ini. Wanita dan anak-anak mereka paksa untuk mengungsi. Paksa, inilah yang mereka lakukan, karena semangat berjuang wanita Palestina yang tinggi, mereka enggan untuk mengungsi.

“Tidak! Kami ingin membantu kalian!” teriak salah satu wanita.

“Jangan ibu! Demi Allah! Kami akan melindungi kalian, mohon tetap berlindung di bunker” sahut seseorang dengan kafiyeh untuk menutup wajahnya.

“Ayo ibu, ikuti saya, saya mohon” sahut pejuang yang lainnya.
Ibu itupun menuruti perintah para pejuang. Aku hanya bisa menyaksikan hal ini dan terdiam terpaku.

“Ummi, aku takut”

“Tenang nak, ayo kita ikuti para pejuang menuju bunker”

“Iya ummi”

Di sisi lain para pejuang mencoba menghadapi tentara Israel.

DOR! DOR! DOR!

Suara tembakan hadir menghantui gelapnya waktu subuh, sementara abi bersama mereka.

DOR!

“Allahu akbar! Asyhadu an laa ilaha ilallah....”

“Abiiii!!” ummi berteriak dan langsung berlari menuju tubuh abi yang terjatuh.

DOR!

Tembakan berikutnya terdengar sangat menyayat hatiku, bersamaan dengan itu, terlihat ummi terkapar disamping tubuh abi dan para pejuang membalas tembakan tersebut dengan tembakan lainnya.

“Lari!” teriak ummi

“Ummi!! Abi!!” teriakku

“Lari!!”

Aku tidak ingin mematuhi perintah ummi karena aku menyayangi mereka, aku ingin tetap bersama mereka.

“TIDAK!!” sahutku

Aku mulai melangkahkan kakiku menuju tubuh ayah dan ibuku sementara suara teriakan takbir dan tembakan terdengar disana-sini.

BRAKK!!

Ada yang menahan tubuhku, aku terjatuh dengan tubuh orang itu menimpaku.

“Larilah nak, lari, itu yang orangtuamu inginkan” kata tubuh di atasku.

“Tapi...” air mata mulai membasahi pipiku.

“Lari, Demi Allah, Ia yang akan menjagamu”

“Tapi...” aku masih tidak ingin menuruti perintahnya. “Aku tidak bisa, sementara ummi dan abi....”

“Lari!!! Cepat!!!” DOR!! Sambil menembakkan AK47 miliknya ke udara, pejuang itu menatapku dan menyuruhku lari.

Aku melihat anak-anak lain mulai berlari menuju satu tempat, Bunker, yang berjarak beberapa blok dari rumahku. Aku pun menyusul mereka dengan air mata dan hati yang pedih.

Sekarang aku masih berlari, namun ingatan itu tetap menghantui, ingatan beberapa menit yang lalu. Sebuah pembantaian yang mungkin sekarang masih berlangsung.

Empat orang anak laki-laki lain berlari bersamaku menuju tempat yang aman, bunker.

“Hahahahaha, mau kemana kalian hah?!”
Sepuluh orang tentara Israel mencegat kami dari arah depan. Kami terkejut dan langsung berlari berbalik arah. Aku memimpin mereka berlari lewat jalan lain.

DOR!!

“ALLAHU AKBAR!!”

Salah satu dari kami tertembak dan langsung terkapar di tanah kota di negeri yang suci ini.

“Apa salah kami?!” teriak salah seorang dari kami.

“Kami hanya anak-anak kecil!!”

Sambil berlari kami terus meneriakkan takbir...

“Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!”


Takbir-takbir inilah yang membuatku tetap bertahan. Sambil mengusap air mata aku menyadari sesuatu. Ihdal Husnayain, ya, salah satu dari dua pilihan. Hidup mulia atau mati sebagai syuhada. Hanya itu pilihan kami.

Aku langsung berbalik menghadapi tentara Israel yang mengejar kami. Entah kenapa tubuhku menjadi begitu semangat menghadapi mereka, mugkin karena aku mengejar janji Allah yang telah pasti. Jannah, aku akan belari menuju jannah. Aku tidak ingin terus lari dari semua ini, jika aku hidup, aku akan berjuang, terus berjuang, dnan jika aku mati, maka sesungguhnya aku hidup.

“Kalian lari! Jangan ikuti aku!” perintahku kepada tiga orang anak yang masih mengikutiku disertai langkah mereka yang langsung memenuhi perintahku.

“Hey! Yahudi laknatullah! Nikmati ini!”

Lemparan batuku tepat mengenai wajah seorang tentara yang langsung mengacungkan senjatanya.

DOR!!

Ah.. aku merasakan itu...

Peluru itu yang akhirnya menembus dadaku...

Ya Rabbi...

Apakah benar apakah benar janji-Mu?

Aku yakin akan janji-Mu terhadap orang-orang yang berjuang di jalan-Mu...

Aku ingin berlari mengambil janji-Mu...

Seperti aku berlari mengikuti perintah ummi...

Ya Rabbi...

Kabulkanlah doaku..

“Asyhadu an laa ilaha ilallah... wa asyhadu anna muhammad rasulullah...”


***


Depok, 24 Desember 2008...
Selesai pukul 10.59...
Ketika perasaan itu mulai teredam...